Sesuatu di Maluku
There’s a lyric that goes, "How can I move on, when I’m still in love with you?"
Begitulah rasanya hari-hari ini, berusaha berdamai dengan kenyataan bahwa aku sudah hampir enam purnama pulang dari Maluku dan memulai kisah di tempat baru. Mencoba meredam rindu, tapi bagaimana mungkin, ketika akhir-akhir ini begitu banyak hal tentang Indonesia Timur justru viral?
Aku kembali tersadar: setahun keberadaanku di sana mungkin tak banyak mengubah dunia, tapi dunia itu telah mengubahku. Menjadi Pengajar Muda bukan sekadar mengajar, tapi sebuah perjalanan yang membentuk hati. Dikirim ke Maluku, aku belajar hidup berdampingan dengan orang-orangnya, merasakan suka dan dukanya, menyaksikan privilese sekaligus kesenjangannya. Ya, mungkin memang itulah tujuan utama Indonesia Mengajar: menggerakkan hati para Pengajar Mudanya. Dan itu berhasil, setidaknya untukku.
Rasa memiliki itu tumbuh begitu saja. Setahun di sana, aku belajar segala kompleksitas masyarakat dan politiknya, dan memakluminya. Di antaranya ada kekaguman dan keresahan yang bercampur aduk. Dahulu, Indonesia Timur terasa asing dan maya, kini ia menjelma begitu nyata. Tempat yang pernah jauh di mata dan hati, kini tak henti melintas di kepala, sesibuk jalanan Jakarta. Aku mengingatnya sebagai bagian dari negeri ini, sebagai kawan yang pernah kugenggam tangannya. Kini di malam-malam, di antara mimpi aku terbangun. Ada raga yang gelisah terbolak-balik di atas dipan di malam yang kian lelah. Ada hati yang diam-diam merindukan sudut-sudut garda terdepan jauh sebelum mulut mengaku. Ada rindu yang melekat dan tak pernah benar-benar hilang, bagai noda kuah kuning di baju putih kesayanganmu itu.
Aku mungkin telah pergi ke banyak tempat, tapi belum pernah jatuh hati sedalam ini. Belum pernah merasa bagaimana setiap hari pikiranku melayang, setiap hari mendamba pulang, dan setiap hari berjanji kepada diri sendiri untuk kembali lagi. Tak lupa, setiap pagi dan malam, sepucuk rayu selalu kuselipkan dalam keheningan: agar semoga Sang Empunya Kehidupan mengizinkanku menapaki tanah itu lagi, sebelum napasku habis digerogoti waktu dan arus dunia.
Mungkin bagi orang lain ini berlebihan. Tapi rasa ini melampaui apa yang bisa diwakili kata-kata. And it’ll probably kill me, if this becomes the kind of love I could never have, if I were to never return.
Rasanya “panggil pulang” bukan sekadar ungkapan dari Indonesia Timur belaka. Kata Aditya Sofyan, ada “Sesuatu di Jogja” dengan mantra istimewanya; maka aku bilang, ada “Sesuatu di Maluku” yang terus memanggilmu pulang. Sekali ke Maluku, rindu akan selalu menemukan jalan kembali.
Comments
Post a Comment