Home

Mama, apa kabarmu?

Aku di sini. Baik-baik saja. Baik sedih, senang, pun merindu tak kurasa. Seakan hatiku mati. Namun, ingatan akan sebuah hari yang sangat berkesan mengusik hatiku. Sebuah ingatan yang membuatku ingin bercerita kepadamu.

Beberapa hari silam, aku diundang ke rumah kawanku. Tak kusangka rumahnya begitu megah dan indah melebihi ekspektasiku. Begitu besar, hingga aku mungkin dapat tersesat dalam labirinnya. Begitu besar hingga dapat menampung seluruh penduduk dari kota yang terpencil ini. Tamannya yang seluas dua puluh lapangan bola, diisi dengan berbagai macam tumbuhan dan sungai-sungai serta danau buatan.

Aku iri. Sangat iri.

Betapa aku ingin memiliki rumah seperti ini.

Namun, pagar rumah itu begitu tinggi hingga nyaris mencakari langit. Berpuluh-puluh penjaga tersebar di setiap sudutnya. Mengawasi semua. Menjaga. Meski dia bukanlah orang penting di negeri ini. Meski dia bukanlah siapa-siapa.

Mengapa dia membutuhkan semua ini? Apakah dia melihat bayangan kematian, sehingga dia begitu ketakutan?

Aku berjalan, menyusuri labirin dengan amat perlahan. Dapat kulihat furnitur-furnitur megah yang hanya dapat diimpikan oleh orang sepertiku. Lantai marmernya berlapis permadani indah seperti dalam cerita-cerita dongeng. Tak ada satu pun hal sederhana dalam rumah ini. Semua begitu mewah, semua begitu sempurna. Bersih tanpa secuil debu. Namun, ada satu hal yang tak dimiliki olehnya:
Kehangatan.

Rumah ini begitu dingin. Terlalu bersolek dengan kesempurnaan. Menyembunyikan cacat dalam topeng penghargaan. Begitu sempurna hingga membuatku jijik. Begitu luas hingga membuat sang pemilik kesepian, hingga tak satu pun penghuni rumah ini memperdengarkan tawa dan kebahagiaannya.
Setiap detik dalam rumah ini berjalan tertatih-tatih. Bahkan chandelier pun tak sanggup menghilangkan kesuraman yang membayang di sudut hati. Dapat terasa olehku, betapa dinding rumah ini tak pernah mendengar gelak tawa; serta betapa pintu-pintu rumah ini tak sempat melihat lengkung senyum yang terkulum.

Begitu hampa.

Hampa di antara semua kemegahan yang ada. Hampa dengan seluruh furnitur yang angkuh. Hampa, meski indah menghakikikan diri di dalamnya. Hampa dan mengerikan. Hampa dan menyedihkan. Seolah nestapa yang terkurung tanpa sempat melihat cahaya.

Rumah ini bukanlah rumah, hanya tempat berteduh ketika lelah dan lapar melanda; hanya tempat pemuas nafsu apabila kehendak tengah menghadirkan diri. Menyakitkan saat mengingat betapa sang pemilik telah bekerja keras, hanya untuk membuang hasilnya dalam kehampaan abadi.
Menyedihkan, sangat menyedihkan!

Mama, tahu, kah, engkau? Aku malu. Malu karena telah menginginkan rumah seperti ini. Malu telah tertipu oleh topeng keindahan dan mencela rumahmu. Rumah yang sesungguhnya, yang hangat, lembut dan penuh kehidupan. Yang sambut membuat siapa pun nyaman, aman serta lupa waktu bahkan ketika cuaca buruk melanda.

Mama, terima kasih.
Terima kasih karena telah membesarkanku dalam rumah itu. My home sweet home.

Tunggu aku, mama.
Aku akan segera pulang.

Kucukupkan suratku kali ini, mama. Aku harap mama selalu sehat dan bahagia

Salam sayang,
Ananda tercinta.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Essay LPDP 2022

AYD girls squad

Raya kala