GUgu & tiRU; Sebuah Panggilan
Menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Itulah simpulanku
setelah menjalani (hampir) dua bulan praktek mengajar di sekolahan di daerah
Magelang. Tapi sebelum kita mengkonklusikan lebih lanjut, mungkin ada baiknya
kalian mengetahui mengapa aku bisa sampai di tahap ini.
Kembali ke tiga tahun yang lalu, ketika aku memutuskan untuk
menjadikan pendidikan bahasa jerman sebagai bidang kuliah yang akan kugeluti
setelah aku menyelesaikan pendidikan menengah atasku (tak luput dengan
kegalauan sebelum aku akhirnya memilih bertahan disini). Aku tahu pada akhirnya
aku harus menggeluti magang mengajar; sebuah fakta yang menakutkan.
Lucu sebenarnya, mengingat bahwa aku dibesarkan oleh dua
orangtua yang juga merupakan tenaga pendidikan, yang satu guru dan yang lainnya
dosen. Namun aku sendiri tidak tertarik sama sekali untuk terlibat mengajar
dalam industri pendidikan formal. Dan hingga detik-detik terakhir sebelum
praktek mengajar, aku masih tidak percaya bahwa aku harus mengajar di sekolah.
Namun meski aku tidak menyukainya, bukan berarti aku lantas
menghindarinya begitu saja. Tidak setiap hal yang tidak disuka harus dan bisa
dihindari. Maka aku mencoba untuk mengajar, awalnya aku masih berdua dengan
temanku yang memiliki guru pamong yang sama denganku, lalu aku mulai tertarik
dan penasaran, bagaimana rasanya mengajar sendiri?
Tentu saja, rasanya LUAR BIASA! Mengajar itu mengasyikkan;
ketika ada murid yang bertanya, ketika mempersiapkan pembelajaran dan media
dengan baik, ketika bisa menjawab pertanyaan dan menghibur anak-anak (walaupun
suka gaje) dan bisa memotivasi mereka
dengan menceritakan pengalaman ke Jerman karena sudah mengalaminya sendiri (cerita
ini akan kutulis di lain kesempatan) dan melihat wajah bengong mereka mengetahui
usia dari “Frau Clara” yang usianya tidak terpaut jauh dari mereka (yang
menyebar luas dari kelas satu ke kelas lain dengan cepat seperti virus Zika). Salah
satu hal yang menyebalkan dalam kegiatan ke-guru-an ini: penulisan administrasi,
seperti rpp, penilaian, silabus dan soal.
Magang pendidikan juga bukan melulu mengenai mengajar bahasa
jerman dan segala macam administrasinya. Aku pernah beberapa kali mengajar
berenang dan menemani ekskul tari. Kami juga melakukan piket gerbang, mengikuti
upacara (setelah sekian lama tidak pernah merasakan upacara bendera), dan
kegiatan favoritku: membantu di perpustakaan. Kegiatan ini sangat membantu
ketika aku sedang jenuh dan kesal dengan peserta didik.
Meskipun terkadang anak-anak sulit mendengarkan kami sebagai
guru praktikan di sekolah, sebenarnnya mereka sangat senang untuk melihat
wajah-wajah muda yang mengajar mereka, dengan usia yang tidak terpaut jauh,
mereka bisa melontarkan candaan yang dipahami oleh gurunya, ataupun bercerita
tentang problematika anak remaja dengan lebih nyaman, tak lupa juga dengan
metode mengajar yang lebih kreatif dan seru dibandingkan guru-guru mereka yang
biasanya mengajar di kelas.
Hal paling berkesan untukku mengenai tetek bengek ajar
mengajar ini justru ketika aku sudah jenuh-jenuhnya mengajar dan waktu praktek
kami sudah tidak lama. Aku masuk lagi ke kelas untuk terakhir kalinya untuk
menyelesaikan materi sebelum uas sekaligus berpamitan. Dan berhubung minggu
lalu aku tidak mengajar mereka karena malas harus
membuat soal, betapa bahagianya mereka demi melihatku kembali ke depan kelas,
dan kecewanya mereka mendengar bahwa ini adalah tatap muka pamungkas bersamaku.
Sikap mereka yang hangat dan curahan perasaan mereka dalam surat kesan pesan
yang diberikan malah membuatku menjadi merasa bersalah karena selama ini aku
merasa kurang dalam mengajar mereka (terutama karena aku masih sering grogi).
Namun pada akhirnya selalu sama: menjadi guru bukanlah hal
remeh; dibalik sosoknya harus ada kesabaran terhadap anak-anak dengan tingkah
ekstra, serta kebesaran hati akan keterbatasan ilmu serta pengetahuan yang
selalu baru setiap waktunya, dan tak luput panggilan untuk mencerdaskan anak
bangsa (eaaaa). Dan dengan tingkahku yang jarang sekali berkelakuan normal,
sepertinya bukanlah insan yang patut untuk ditiru oleh mereka. selama praktek
ini bukan hanya sekali dua aku kemudian berpikir betapa mengagumkannya ayah,
ibu dan guru-guru serta dosen yang sudah mengajarku selama ini.
Dan sebagai penutup, ijinkan aku untuk berterimakasih pada
semesta yang membawaku pada pengalaman ini, mempertemukanku dengan kawan-kawan
yang menyenangkan, guru yang baik serta murid-murid hebat, dan mengijinkanku
merasakan rasanya menjadi anak kos.
Pengalaman yg sangat menarik, berharga, dan memperkaya Lala
ReplyDeleteMenjadi guru itu semestinya adalah panggilan hati. Keinginan mendalam dari dalam hati untuk membuat orang lain menjadi lebih terpahamkan atas sesuatu hal dibandingkan sebelumnya. Bahagia akan datang ketika mengetahui murid happy dan mendapatkan banyak hal dalam kegiatan pembelajaran. Menjadi guru itu... adalah sesuatu yang mulia sekali. Dan menjadi guru bisa dimana saja, tidak selalu di sekolah .
ReplyDelete