New Normal
Desember 2019…
Media massa mendadak
gempar dengan adanya kemunculan virus baru yang menjangkiti wilayah tiongkok.
Situasi yang mulanya tidak terlalu diacuhkan lantas menjadi perhatian besar
dikarenakan tingginya jumlah orang yang terinfeksi dan meninggal dunia. Dari
hari ke hari, perkembangan penelitian mengenai COVID-19, sebutan yang kini
marak digunakan, menunjukkan betapa mudahnya ia tersebar baik melalui benda
mati maupun udara. Lambannya Tiongkok dan negara-negara lain untuk
mengantisipasi penyebaran penyakit ini semakin jauh pun layaknya bom waktu;
Korea, Italia, dan bahkan Indonesia. Satu per satu negara lain menemukan adanya
virus tersebut dalam negara mereka.
…
Tiga bulan setelahnya, Tanah Air pun akhirnya memutuskan
untuk melakukan pembatasan aktivitas. Tidak ada lagi orang yang boleh bepergian
tanpa kepentingan jelas. Semua jenis bisnis dan kegiatan belajar menjadi
terbatas. Semua orang harus beraktivitas dalam kediaman mereka. keputusan ini
pun berjalan tidak tanpa kontradiksi. Meski sebagian orang bisa beraktivitas di
dalam rumah, masih ada orang-orang yang mengandalkan pekerjaan harian mereka
untuk mendapat uang. Selain itu, walaupun beberapa orang yang sedang menuntut
ilmu dapat melakukannya di rumah, ada pula yang kesulitan. Jangankan internet, gawai
pintar mereka punya saja sudah bagus.
Secara teori, kurasa pemerintah dan beberapa instansi berusaha
memberikan yang terbaik; bantuan dana, akses pelajaran sekolah via televisi,
kuota gratis, dsb. Namun ketika berkaitan dengan umat banyak, selalu saja ada
permasalahan yang terjadi. Timpangnya pemberian bantuan, tidak meratanya akses,
kurangnya transparansi menjadi hal yang (lagi-lagi) dikritik oleh rakyat. Bantuan
tidak hanya diadakan oleh instansi besar saja, banyak sekali penggalangan dana
yang berjalan secara daring baik dari mahasiswa maupun organisasi non-profit.
Diantara banyaknya bantuan yang tersedia, kita tetap tidak
bisa memungkiri masih saja ada orang yang harus keluar rumah untuk beraktivitas
atau bekerja. Kontras dengan ilustrasi karantina yang kulihat di negara lain,
setiap berbelanja ke pasar, masih sering kudapati orang yang lalu-lalang di
jalanan. Tanpa masker. Membuatku banyak
berpikir, “Mengapa orang masih menyepelekan?”. Sambil berharap di dalam hati, semoga
lain kali saat aku keluar rumah, semakin banyak orang yang mau menggunakan masker
ketika bepergian. Di masa ini aku mulai berhenti membaca informasi tentang
COVID 19 dan menyibukkan diri dengan hal lain. Sebab hanya melihat keadaan
tanpa mampu banyak berkontribusi hanya membuat diri semakin tertekan.
Kini, pada saat aku menuliskan ceritaku, kami sudah
menjalani karantina wilayah selama lebih kurang 2,5 bulan. Rasa waspada
masyarakat semakin mengendor, walau sesungguhnya virus dan kurva angka pasien
positif masih meningkat drastis. Nampaknya orang-orang semakin tak mengindahkan
keamanan diri dan bahkan, mulai berspekulasi tentang elit dunia dan cocoklogi
konspirasi lainnya. Bahkan baru-baru ini pusat perbelanjaan dikerumuni oleh
massa yang ingin berbelanja kebutuhan lebaran. Rasanya negara semakin kacau; kebijakan
pemerintah yang absen, ditambah dengan oknum warga yang abai mempermudah
melonjaknya statistik jumlah penderita COVID-19.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah sedang mempersiapkan
negara untuk kembali beraktivitas seperti sedia kala. Istilah “new normal” banyak digaungkan di media
masa. Normalitas baru, sebab manusia tidak akan bisa kembali kepada rutinitas
dahulu. Apa yang terjadi kini akan dianggap sebagai “normal”. Sama seperti
dahulu kala manusia terbiasa hidup tanpa gawai dan internet di tangan, kini
tiada hari tanpa internet dan gawai. Meski barang sesaat dalam sehari, kita
pasti memegang gawai dan menggunakan internet. Seseorang yang tidak memiliki
akun whatsapp dapat dipandang aneh oleh masyarakat.
Namun sesungguhnya apakah normal itu? Dalam pandanganku
“normalitas” adalah sesuatu yang bersifat subjektif; sebuah pakaian bermerek
mungkin dapat terlihat begitu mahal bagi seseorang yang hidup bersahaja, namun
sangat murah bagi seorang juragan dengan segudang usaha. Konferensi internet
yang biasa dilakukan oleh orang-orang metropolitan mungkin terkesan begitu
asing bagi suku di tengah hutan. Kemudian kita mulai membanding-bandingkan
hidup kita dahulu dan sekarang, merindukan semua yang sudah terlampaui.
Pada akhirnya peradaban selalu berubah, manusia pun
mengikutinya (atau kebalikannya?). Seperti apapun rutin baru yang kini kita miliki,
semoga kita selalu bisa beradaptasi dan berevolusi dalam arus dunia yang
semakin cepat ini.
Comments
Post a Comment