Nenek di Teras


Puan bertubuh kecil itu duduk di kursi bambu di teras rumahnya. Setiap hari kebayanya semakin terasa besar, sebab tubuhnya yang semakin rapuh. Matanya sayu. Kepalanya kini telah dipenuhi dengan uban. Kaki ringkihnya perlahan membawanya menuju kursi bambu yang selalu menemani hari-harinya yang kini sepi. Suaminya telah lama tiada; anak-anaknya entah kini ada dimana.
Seorang gadis muda melewati teras rumah nenek itu hampir setiap hari; melewati jalan semen gersang yang semakin gompal. Istana kecil berhias aksara jawa itu menghadirkan rasa penasaran yang teramat dalam hati gadis, membuatnya sulit untuk mengabaikan keberadaan rumah di timur jalan nan kecil itu. Semua hal tentang rumah itu mungil adanya: pagar mungil, atap mungil, pekarangan mungil, teras mungil, kursi mungil, kamar mungil. Ia ragu akan adanya keberadaan peradaban dalam rumah itu. Tak pernah sekalipun ia mendengar suara radio atau televisi dari griya itu. Melewati rumah itu, seakan ada portal waktu yang melemparnya ke masa lain dari dunia ini.
Sesekali ketika mentari sudah mulai rebah di barat dan gadis itu melintas di depan rumah nenek, ia hanya dapat melihat temaram dua lampu kuning 5 watt yang terpasang di ruang tengah dan beranda yang amat hening. Ia mulai berpikir “bagaimana bisa seseorang hidup tanpa adanya kebisingan dunia masa kini?”.
Di lain waktu, di siang yang terang benderang, ia berpapasan dengan sang empunya rumah. Terkadang ia duduk diam, kadang mengistirahatkan tubuhnya di atas kursi bambu panjang yang berderit-derit ketika seseorang bergerak saat duduk. Ia tak pernah terlihat pernah berkata-kata, layaknya biksu yang mengambil sumpah bisu dalam sisa hidupnya. Sesekali, mereka saling melempar senyum. “Monggo!” ucap gadis memecah kesunyian. Lagi-lagi gadis bertanya-tanya “bagaimana bisa hidupnya terlihat begitu damai meski tak sepanjang hari ada orang yang menemani? Meski selama ini yang kulihat, hanyalah ia yang keluar masuk rumah, bak seseorang yang tak memiliki sesuatu apapun untuk dikerjakan?”
Begitulah si gadis yang terus memupuk pertanyaan baru di setiap perjalanannya berpapasan dengan rumah mungil dan sang nenek. Berimajinasi akan sebuah kehidupan yang tak pernah ia miliki; dunia yang jauh berbeda dengan saat ini, dimana teknologi mutakhir bukanlah hal candu dan tak perlu digenggam setiap waktu. Kehidupan yang lebih damai sebab kehidupan berjalan sendiri-sendiri dan tak diperbandingkan. Waktu berjalan lebih pelan sebab komunikasi tak semudah membuka layar gawai dan berkirim pesan dengan media sosial. Pikiran yang lebih tenang sebab tak banyak membaca, melihat atau mendengar jutaan pikiran manusia di seluruh dunia yang terpampang di seluruh dinding internet dan ruang publik digital.
Nenek di teras yang begitu tak lazim nan memiliki aura magis telah menghipnotis pikiran gadis. Membawanya merenungkan makna seperempat bagian kehidupan yang dijalani. Meruntuhkan iman yang selama ini ia percayai. Mempertanyakan problematika manusia-manusia di masa kini.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Essay LPDP 2022

AYD girls squad

Raya kala