Pria Tanpa Wajah

Hanya bersua di layar cahaya tanpa pernah betul mengenal siapa dia, aku tak pernah tahu betul rupanya; hanya suara kepalanya yang tertuang dalam deretan huruf yang berjejer rapi. Jika aku boleh menebak seperti apa warna suaranya, aku berpikir itu bagaikan warna biru pastel. Aku tak pernah tahu apa hubungannya atau maksud dari itu, tapi entah mengapa, pikiranku berkata demikian.

Aku pun tak pernah mengenal asal mula dirinya; hanya sepotong dua keping mengenai dirinya. Satu hal yang aku ketahui, adalah ia hidup di belahan dunia lain, dimana mataharinya baru sepenggalah tingginya ketika mentariku telah terik. Yang sangat aku ketahui pula, adalah betapa kagumnya aku sejak hari pertama aku mengenalnya. Berkenalan dengannya bukanlah hal yang istimewa, kami hanyalah orang asing bagi satu sama lain. Bagiku ia tampak seperti orang yang tak banyak berkata-kata. Ia juga bukanlah orang mudah kusukai dalam selayang pandang; ucapan ketusnya pada awal perkenalan kami sempat menyinggung egoku. “Angkuh!“ ucapku dalam hati.

Waktu terus berjalan, ia pula lah yang menghilangkan segala sakit hati dari kata-kata yang pernah terucap. Saat ini, aku dan ia baik-baik saja. Aku tidak membencinya. Bagi kami semua itu tak membawa pengaruh apa-apa, toh kami sibuk pada dunia kami yang asing bagi satu sama lain. Meskipun aku mengaguminya dan ingin berbicara dengannya, kami hanya membatu; seandainya ruang bicara kami ada di dunia nyata, mungkin tempat itu mulai berdebu dan dihinggapi makhluk-makhluk tak kasat mata.

Namun sebelum aku dapat menyadarinya, kami tahu-tahu saja lebih sering bersapa dan berkisah. Tak tahu benar apa sebabnya dan bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin ini semua dimulai saat kami mulai mengetahui nama kami masing-masing? Atau juga disaat kami memutuskan untuk saling menyimpan kontak kami? Aku tak pernah tahu. Yang kutahu adalah rasa senang itu sungguh tak dapat kusembunyikan. Pembicaraan sederhana di penghujung malam membuatku terlalu bahagia untuk tertidur. Pembahasan-pembahasan remeh telah membuat kami tertawa bersama, meski di belahan dunia yang berbeda.

Lantas, kisah berubah jadi kasih. Dua hati beresonansi pada rasa yang sama; rasa yang sukar terucapkan. Barangkali sebab tahu, kami tak ditakdirkan bersatu. Sebab tak selamanya kesamaan dapat membawamu lebih jauh. Terkadang ada hal-hal yang lebih indah dibiarkan sebagaimana adanya, seperti bunga yang akan jauh lebih indah jika ia dibiarkan tumbuh di tanah, daripada melayu sendu dalam vas penuh debu.

Layar persegi itu telah mati. Dunia nyata telah berdetak kembali, menyadarkanku kepada apa yang harus kuhadapi saat ini. Nyatanya ia nun jauh disana, aku disini dengan segala kehidupan kami dan tak pernah benar-benar saling mengenali. Rasa ini tak nyata, eksistensi hanya ilusi. Hanya dipertemukan sejenak oleh waktu sebelum akhirnya kembali lalu.


Yogya, 07.03.21

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Essay LPDP 2022

AYD girls squad

Raya kala