Filosofi Garis Lukis Affandi

Seusai PPL dan beberapa hari istirahat, aku langsung disibukkan dengan kegiatan magang. Magang ini aku lakukan dalam bidang pariwisata, dan mengambil tempat di Museum Affandi. Sebelumnya aku belum pernah kesana walaupun sejak kecil aku sudah sering melewati tempat ini. Tak pernah kusangka, bahwa ternyata perjalanan hidup membawaku masuk ke dalamnya dan bahkan berproses bersama selama dua bulan.
Awalnya aku juga tidak memilih museum ini untuk menjadi tempat magang. Aku ingin sekali bisa magang di hotel. Namun karena persiapan yang kurang, waktu yang singkat, serta jangka minimum magang yang tidak sesuai dengan kebutuhan kami, maka akhirnya aku dan partnerku, Vita memutuskan bergabung bersama beberapa teman lain yang sudah mendaftar ke museum Affandi.
Terdapat dua kloter yang masuk di museum Affandi, yaitu kloter yang masuk pada 19 November dan kloter yang masuk pada 1 Desember. Aku berada di kloter pertama bersama dengan Teh Ica, Gata, dan Aidul, sedangkan Vita bergabung bersama kloter kedua yaitu Tiwi, Song, dan Ainun.
Saat kami masuk, kami diminta untuk mengobservasi guide Museum Affandi yaitu Pak Dedi, Pak Hudan, Mas Iwan, Mbak Nofiya, dan Mbak Ima yang sedang memandu tamu dan membaca beberapa buku tentang Affandi sambil menjaga galeri dan mematikan lampu bila tidak ada pengunjung di galeri. Ketika waktu luang dan sedang sepi pengunjung, kami dijelaskan mengenai lukisan-lukisan yang ada di galeri 1 oleh mbak Nofiya atau mbak Ima yang bertanggungjawab mengurus trainee.
Selain itu kami juga sempat dibriefing oleh bu Helfi. Bu Helfi mengucapkan salam pada kami berempat dan banyak bercerita tentang kisah dibalik lukisan-lukisan pak Affandi. Semasa beliau masih kecil, beliau sering ikut dengan Pak Affandi ketika ia melukis. Bu Helfi bercerita tentang suatu hari ketika pak Affandi melukis di pasar burung Ngasem, Pak Affandi mengajak cucu-cucunya untuk ikut. Di Ngasem, cucu-cucunya asik bermain, sementara pak Affandi mencari titik yang bagus untuk dilukis, sambil berusaha menyatu dengan lingkungannya. Jika ada cucunya yang hendak melukis, pak Affandi sudah menyediakan alat melukis juga, namun pak Affandi tidak pernah memaksa cucunya untuk ikut melukis.
Ketika akhirnya pak Affandi sudah mendapatkan perasaan yang diinginkannya, beliau mulai menggambar dengan mengeluarkan cat dari tube dan menggunakan jarinya sebagai kuas. Karena pak Affandi melukis berdasarkan emosi (ekspresionis), maka proses melukis berdurasi cukup singkat, agar emosi yang hendak disampaikan dari lukisan tersebut tidak berubah. Selama melukis, terdapat pula beberapa orang di pasar yang ikut melihat pak Affandi melukis. Setelah selesai, beliau mentraktir soto semua cucu dan orang-orang yang sudah melihat pak Affandi melukis.
Potret pak Affandi sebagai tokoh yang tetap dekat dengan masyarakat dan sangat bersahaja merupakan hal yang sangat kontras sebagai seorang tokoh yang sudah mendapatkan penghargaan baik dari luar maupun dalam negeri.  Sosok pak Affandi juga membuatku kagum, dengan awal mula pak Affandi menjadi seorang pelukis dimulai dari keberaniannya untuk berhenti sekolah, berlatih hanya dengan menggunakan cat sisa membuat reklame dan objek yang ada di sekitarnya, hingga akhirnya semakin besar dan bisa berkeliling dunia. Selain itu, beliau juga merupakan orang yang gemar membaca. Apabila pak Affandi tertarik untuk pergi ke suatu destinasi, beliau akan banyak membaca informasi yang berkaitan dengan tempat tersebut terlebih dahulu.
Museum Affandi juga merupakan cita-cita beliau sendiri. Di eropa, beliau banyak melihat museum lukisan dan beliau juga menyisihkan lukisan mana yang hendak dijual, diberikan kepada keluarga, maupun yang hendak dijadikan koleksi museum. Sepulangnya dari Eropa, Pak Affandi membangun museum impiannya yang sekarang merupakan galeri pertama museum Affandi. Karena bangunan pertama ini dibiayai oleh pak Affandi sendiri, maka pengerjaannya bertahap dan pelan. Butuh waktu 12 tahun (1962-1974) untuk menyelesaikan galeri pertama ini.
Galeri kedua kemudian menyusul di tahun 1988. Galeri ini dibangun dengan hibah dari presiden di zaman itu, yaitu Presiden Soeharto. Dan yang terakhir, galeri ketiga dibangun di tahun 1997, 7 tahun setelah pak Affandi meninggal dunia.
Kembali lagi dengan kisah magang. Setelah seminggu kami berada di museum Affandi, kesiapan kami memandu diuji oleh mbak Ima dan mbak Nofiya. Kami bergiliran mencoba menjelaskan lukisan-lukisan yang ada di galeri pertama. Setelah selesai, kami melakukan evaluasi. Ada beberapa hal yang harus kami perbaiki, seperti bahasa tubuh serta cara kami menyampaikan yang masih seperti guru. Kami harus memperbaiki hal ini sebelum kami diuji oleh direktur museum Affandi, yang merupakan cucu pertama pak Affandi, yaitu bu Helfi.
Setelah diuji oleh bu Helfi, kami mulai memandu tamu. Kadang ada hari dimana museum sangat ramai, dan ada juga waktu saat sepi. Ketika sepi aku bisa merasa bosan karena tidak banyak melakukan aktivitas, namun ketika ramai kita sampai tidak sempat untuk duduk dan mematikan lampu galeri (serba salah ya?).  Namun untungnya disaat sepi ada adik Hita yang lucu, anak mbak Nofiya yang bisa kita ajak bermain.
Suatu waktu kami juga pernah dikumpulkan berdelapan di ruangan bu Helfi. Beliau menegur dan mengajari kami etika guiding yang benar. Bagaimana cara memandu tamu yang baik, darimana kami bisa mengambil tamu, bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan tamu, bagaimana undur diri setelah usai  memandu, tata krama menjadi gallery attendant yang baik. Ternyata banyak sekali hal yang kami belum ketahui dan tidak diajarkan di bangku kuliah. Menjadi guide bukanlah hal sepele dan tidak hanya sekedar ngomong saja. Pemilihan kata, mimik, dan gestur bisa memengaruhi bagaimana tamu akan menilai kami dan juga museum ini, dan penilaian itu bisa saja terlihat di media sosial atau situs penilaian tempat wisata.
Dalam masa magang ini, ada beberapa dari kami yang mendapatkan bonus berkat kepuasan pengunjung. Terlebih dalam masa high season yang terjadi menjelang natal hingga seminggu setelah tahun baru. Di masa ini banyak temanku yang mendapatkan tip. Sayangnya aku tidak mendapatkan kesempatan itu karena di hari-hari pamungkas bulan Desember aku justru jatuh sakit dan tidak bisa magang. Aku tidak mempermasalahkan apakah saat aku memandu nantinya akan mendapatkan tip atau tidak, selama aku menikmati tugasku dan pengunjung juga tertarik dengan kisah pak Affandi. Namun kadang aku juga penasaran, bagaimana rasanya mendapatkan tip? Akhirnya aku pernah mendapatkan tip, walau hanya sekali dan tidak sebanyak teman-temanku yang lain. Namun aku rasa, sebelum aku mendapatkan bonus, aku harus belajar mencintai apa yang aku lakukan tanpa melihat apa yang akan aku dapat sebagai balasannya.
Aku tidak menyesali keputusanku untuk magang di Museum Affandi. Malah justru, aku rasa ini merupakan pilihan yang lebih baik daripada magang di hotel. Disini aku bertemu macam-macam pribadi, mulai dari bayi yang lucu hingga orang tua yang punya banyak cerita, dan manusia dengan berbagai tindak tanduk karena tidak semua karyawan disini mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Kadang aku merasa kesal dengan perilaku mereka, dan aku teringat bahwa aku baru magang disini. Bagaimana jika aku adalah pegawai tetap dan menghadapi seseorang yang menyebalkan setiap hari selama bertahun-tahun? Dari sini aku belajar bahwa kadang kita harus bisa berlaku cuek terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita dan tetap menghormati mereka. Tentu saja ini hal yang cukup sulit dan memerlukan banyak latihan, tapi aku berharap (dan yakin) semakin berjalannya waktu aku dapat melakukannya dengan baik.
           Selain kesal pada karyawan, ada suatu titik dimana kami memiliki konflik internal yang hebat, namun permasalahan itu dapat diselesaikan dengan hal yang mendasar: komunikasi. Kami berkumpul dan melakukan evaluasi satu sama lain dan memutuskan untuk saling memaafkan dan berkompromi. Keesokan harinya, kami sudah kembali sapa menyapa seperti sedia kala dan bisa melakukan tugas magang dengan lebih baik.
                Hari ini adalah hari terakhirku magang. Yang artinya kesibukanku menjadi trainee sudah usai. Untuk itu, kuucapkan terima kasih banyak untuk teman-teman semua yang sudah bekerja bersama-sama selama dua bulan ini. Mohon maaf bila aku memiliki banyak sekali salah dalam perkataan maupun perbuatan. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya. Jika kalian penasaran dengan lebih banyak kisah pak Affandi, kunjungi saja museumnya! J
x

Comments

  1. Keren semua... Baik tulisannya, pengalamannya, maupun pembelajarannya.
    Semangat terus ya...

    ReplyDelete
  2. Asyiknya pengalaman magangnya...mengispirasi utk pergi ke museum affandi..
    Terima kasih clara sidharta

    ReplyDelete
  3. Membaca tulisan ini, jadi ingin ajak anak-anak untuk mengunjungi Museum Affandi. Terima kasih ulasannya yang Keren 👍

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contoh Essay LPDP 2022

AYD girls squad

Raya kala