Literasi Indonesia; Sudah Bahagia? (Bagian I)

Ketika mendengar kata "literasi", mungkin makna yang langsung terpikirkan adalah "kemampuan baca dan tulis". Namun makna literasi kini telah berkembang. Saat ini literasi juga dapat diartikan sebagai "kemampuan memahami dan memproses sebuah informasi dan menuangkannya ke dalam sebuah tulisan ataupun tindakan". Ada banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan ketika memiliki kemampuan literasi yang baik; mulai dari mengedukasi diri sendiri hingga mengubah taraf hidup. Fokus literasi kemudian berkembang, di antaranya adalah 6 literasi dasar, yang terdiri dari literasi baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial serta budaya dan kewargaan.

Literasi telah eksis di Indonesia sejak zaman duhulu kala, jauh lebih lama dibandingkan kerajaan-kerajaan. Tentu saja pada mulanya perwujudan literasi tidak seperti yang kita kenal saat ini. Dulu tanda-tanda literasi hanya berbentuk gambar ataupun simbol. Jejak ini terekam di atas berbagai media seperti daun ataupun batu di berbagai tempat seperti candi atau gua.

Meski sudah ada di nusantara berabad-abad lamanya, hasil penelitian berkaitan dengan situasi literasi di Indonesia di abad ke-21 belum membawa kabar bahagia. Berbagai penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu satu dekade oleh berbagai studi menunjukkan bahwa negara kita masih berada di posisi sepuluh terbawah. Studi pertama bersumber dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2006. Studi ini mengukur kemampuan baca siswa usia kelas IV SD dari berbagai negara. Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat ke-41 dari 45 negara. Tercatat pula dalam Programme for International Student Assesment (PISA) 2018, bahwa pencapaian literasi membaca siswa usia 15 tahun di Indonesia menduduki peringkat sepuluh terbawah dari 79 negara yang berpartisipasi. Lebih lanjut, sebuah studi berjudul "World’s Most Literate Nation" (WMLN) dari Central Connecticut State University pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara, tepat di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61). Penelitian lain yang dilakukan oleh UNESCO menemukan bahwa minat baca, khususnya di kalangan pelajar Indonesia, masih sangat rendah, hanya mencapai 0,001%. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang gemar membaca.

Indonesia juga telah mengases kondisi literasi secara mandiri dalam laporan Indeks Aktivitas Literasi Membaca, atau disingkat Alibaca. Dalam laporan ini, Fuad Hasan, senada dengan teori Miller dan McKenna, berpandangan bahwa ada empat dimensi yang memengaruhi kemampuan literasi, yaitu dimensi kecakapan, akses, alternatif, dan budaya.

  • Kecakapan literasi diindikasikan dengan kemampuan literasi dasar. Kemampuan ini hanya bisa diperoleh pertama-tama jika seseorang tidak buta aksara. Selain itu, kecakapan juga dipengaruhi kemampuan seseorang dalam mengakses sumber literasi. Kedua hal ini dipengaruhi oleh berapa lama seseorang mengenyam pendidikan.
  • Akses diindikasikan oleh ketersediaan sumber daya literasi, baik sumber daya manusia (pengelola, pengurus, dsj.), tempat (perpustakaan, taman bacaan, dsj.), buku bacaan, serta rasio sumber daya literasi per seribu penduduk, dan frekuensi masyarakat mengakses sumber daya literasi tersebut setiap bulannya.
  • Alternatif melihat opsi yang disediakan perangkat elektronik dan digital untuk mengakses informasi, baik di sekolah maupun di masyarakat. Hal ini diukur melalui ketersediaan jaringan internet, serta persentase akses internet (meliputi media sosial dan aplikasi pesan singkat) dan perangkat.
  • Budaya dinilai dari kebiasaan atau perilaku masyarakat dalam mengakses bahan-bahan literasi. Hal ini dilihat berdasarkan jumlah pembaca surat kabar, variasi bahan bacaan dan platform sumber baca, serta frekuensi kehadiran dan partisipasi masyarakat di TBM.

Berdasarkan penilaian di atas, provinsi dengan indeks literasi tertinggi adalah DKI, DIY dan Kepulauan Riau, meskipun demikian, ketiga provinsi ini pun masih berada di kategori sedang. Sedangkan mayoritas provinsi berada dalam kategori rendah. Selain itu, ada satu provinsi di Indonesia yang masih berada pada kategori sangat rendah, yaitu Papua Barat.

Berdasarkan keempat dimensi literasi, pemenuhan dimensi kecakapan telah mencapai 75,92%, dimensi alternatif 40,49%, dan dimensi budaya 28,50%. Sementara itu dimensi akses menunjukkan persentase paling rendah, yaitu 23,09%. Adapun . Berdasarkan hasil temuan tersebut, Lukman Solihin, peneliti di Balitbang Kemdikbud sekaligus salah satu penyusun Alibaca menyimpulkan adanya korelasi antara akses literasi dengan budaya literasi. Budaya literasi tidak bisa dijalankan tanpa adanya bahan-bahan yang bisa dibaca. Dalam grafik di bawah terlihat bahwa jumlah perpustakaan belum berbanding lurus dengan jumlah sekolah. Hal ini berarti belum setiap sekolah memiliki perpustakaan. Padahal, sekolah berperan besar dalam membentuk budaya literasi.

Selain faktor-faktor tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi menghambat peradaban, termasuk laju pendidikan di Indonesia 2 hingga 3 tahun. Hal ini turut memperlambat perkembangan literasi di Indonesia anak kelas 2 SD. Dilansir dari sebuah studi yang dilakukan oleh INOVASI, area Indonesia timur, terutama Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Nagekeo memiliki ketertinggalan belajar hingga kurang lebih 44 bulan dalam bidang literasi numerasi.


Lantas bagaimanakah upaya Indonesia dalam memperbaiki tingkat literasi Indonesia? Baca artikel selanjutnya di sini!

Comments

  1. Salam dr tim 7. Sieben lesen.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sieben lesen membawa senyum bagi semua. Tim 7 jos jos jos! 😄

      Delete
  2. Kajian yang memotivasi peningkatan literasi... Salam Tim 7_7esen

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

AYD girls squad

Contoh Essay LPDP 2022

Raya kala