Sepatu Fantasi Lili
Suatu waktu, saat aku masih kecil, aku pernah membuat sebuah cerpen anak dan mencoba mengirimnya ke Koran Kompas untuk dimuat pada rubrik anak yang ada setiap Minggu, sayangnya, beberapa bulan kemudian aku menerima naskahku kembali, yang berarti cerpenku ini ditolak untuk diterbitkan. Saat itu aku sangat sedih dan melupakan cerita buatanku ini.
7 tahun kemudian, tepatnya saat ini, aku menemukan kembali kisah ini dan memutuskan untuk mengabadikannya dalam blog ini. Selamat membaca, semoga kalian menikmati!
Lili sedang asyik melukis bersama teman sebayanya,
dengan cat yang beragam warnanya, Lili melukis seorang putri cantik dengan
sepatunya yang indah di atas
kertas. Di sebelahnya ada Mira yang melukis kelinci
lucu, Tyo yang hanya menyapu cat dengan asal, dan banyak lagi temannya dengan berbagai macam lukisan.
Sambil melukis, mereka bersenda gurau.
“Akhirnya, selesai juga lukisanku”, gumam Lili. “Hufft, haus nih... minum dulu ah”,
lanjutnya. Maka, Lili pun berjalan menuju tempat ranselnya. Tiba-tiba... “BRUKKK!!!”
“Aaa..duh...
maaf ya, bajumu nggak papa ‘kan, lukisanmu juga nggak papa ‘kan?”, tanya Mira. Karena
terburu-buru, Mira yang tengah membawa cat biru, menyenggol Lili sehingga menumpahkan kaleng cat
tadi tepat di atas sepatu Lili.
“Duh...”, Lili mengaduh,
“sepatuku... jadi biru deh”,
ujarnya sedih. “Waaah,
maaf ya... maaf... aku tidak
sengaja Lili. Bagaimana kalau esok minggu aku
datang ke rumahmu, supaya bisa membantumu mencuci sepatu itu, bagaimana?” ujar Mira merajuk.
“Hmmm...
gimana ya? Oke
deh... aku tunggu ya”,
ujar Lili, meskipun sedih karena sepatu kesayangannya terkena cat, Lili lega karena Mira
sahabatnya itu mau
bertanggung jawab.
* * *
“Lili pulang...” ujar Lili lesu, saat memasuki halaman rumahnya. “Li, kok
wajahmu lesu begitu si? Ada apa? Lho... mana sepatumu?”, tanya Ara, kakak perempuannya.
Lili menyodorkan kantong kresek yang berisi sepatunya sambil menjawab: “Sepatuku terkena cat, gara-gara Mira”, ujarnya sambil memberengut. Ara mengambil sepatu Lili
dan melihatnya, lalu berkata:
“Hmm, cuma terkena cat sedikit kok... begini ‘kan jadi lebih keren”, goda Ara. Lili tambah memberengut. “Ya... mau gimana lagi, cat ini... kalau dicuci malah luntur ke mana-mana Li”, ujar Ara.
“Ya sudah, kalau
begitu, beli baru lagi aja ya kak?” celetuk Lili. “Jangan
ah, boros uang. Lagian, memangnya
masih ada sepatu seperti ini?” ujar Ara menolak usul Lili.
“Iya juga ya... Ah, pokoknya Lili mau coba cuci dulu... kalo memang gagal ya... ya
sudahlah”, ujarnya sambil berjalan
menuju ke kamar.
Sementara itu, Ara masih sibuk memperhatikan sepatu Lili.
* * *
Malam pun
tiba. Mama sedang mempersiapkan makan malam dibantu Ara. Sedangkan Lili
masih saja kesal karena sepatu kesayangannya jadi kotor dan jelek.
“Tok... Tok…” Terdengar suara orang mengetuk pintu di luar. “Li, tolong bukakan pintu ya?”, pinta kakaknya
dari dapur. Dengan lesu, Lili membukakan pintu. Rupanya papa Lili pulang setelah seharian bekerja. Papa langsung membersihkan diri, lalu makan
malam bersama keluarga.
Saat makan, biasanya Lili paling
cerewet membicarakan segala hal saat di sekolah atau kejadian-kejadian yang berlangsung di rumah.
“Ada apa nih?
Kok diam saja Li? Tidak
biasanya... berantem sama Ara
ya? Atau ada kejadian tidak menyenangkan di sekolah?” pancing papa Lili membuka percakapan sambil menikmati menu makan malam.
“Iya
nih pa…, tadi siang saat jam melukis, Mira yang sedang membawa cat
tidak sengaja menabrakku... jadi sepatuku terkena cat biru. Ditambah, kak Ara menggangguku dengan berkata,
kalau cat ini dicuci malah merusak sepatuku... rasanya kesal sekali”, omel Lili.
“Loh,
‘kan si Mira nggak sengaja... lagian,
Mira itu sahabat baikmu... jangan marah dong. Dan, kak Ara ‘kan
seniman, memang tahu soal cat. Terus, sepatumu mau diapakan?” tanya Mama kepada Lili.
“Mau dicuci Ma, biarpun harus mencucinya berjam-jam gak apa-apa, Mira mau
bantu membersihkannya besok Minggu kok”, timpal Lili.
“Oh…, Mira mau datang ke sini? Tapi, ‘kan udah kak Ara bilang jangan dicuci,
nanti kalau semakin
rusak dan jelek, kamu
mau menyalahkan siapa lagi?”, tanya Papa.
“Hmmm… lagian, hari minggu, udah keburu kering kali catnya...”
ujar Ara. Lili bertambah
cemberut. “Tapi, itu ‘kan, sepatu kesayanganku”, ujar Lili. “Sudah, nanti Papa belikan lagi sepatu putih seperti itu. ‘Kan banyak di pasar”, Papa menengahi, “tapi, mungkin minggu depan ya. Papa
lagi sibuk minggu ini”, lanjutnya. Suasanapun
kembali hening dan mereka kembali melanjutkan makan malam.
* * *
Dua
hari kemudian. Pagi-pagi sekali Lili sudah mondar-mandir ke sana kemari. Padahal, Ara masih
enak-enak tidur, begitu pula dengan Papa dan Mama. Lili tidak hanya
mondar-mandir, tapi juga membuat gaduh dengan mengobrak-abrik barang seisi rumah, sehingga akhirnya Papa dan
Mama terjaga. Rupanya, sudah dua jam Lili membuat gaduh dan sekarang sudah jam
tujuh pagi, Lili pun
panik. “Kamu ngapain si?” tanya Papa dengan mata mengantuk. “Hari ini ‘kan
hari Minggu Pa, Mira mau bantu aku membersihkan sepatuku dari cat. Tapi, belum sempat menghilangkan
catnya, kok sepatunya sudah hilang duluan ya?” jawab Lili bingung.
“Ya sudah, nanti dicari lagi, sekarang sarapan dulu
ya”, hibur Mama. “Oh ya, tolong bangunkan kakakmu, tumben jam segini belum bangun, kayaknya semalam
kakakmu begadang tuh”, lanjut Mama.
“Tok...tok.... Kakak, bangun kak Ara!”, Lili mengetuk pintu sambil setengah berteriak untuk membangunkan Ara. Setelah diketuk
beberapa kali, kakaknya masih bergeming. Lili pun masuk ke kamar Ara.
“Hah??! Sepatukuuu!!” Teriakan
keras Lili membuat Ara
terbangun. “Kok
sepatuku jadi bagus begini sih kak?”, tanya Lili penasaran. “Hmmm...”,
gumam kakaknya yang masih setengah
mengantuk. Rambut panjangnya pun masih terlihat berantakan. “Jadi begini, kemarin sore kakak bilang mau pergi ke galeri, kakak
jadi kepengen mau
melukis sesuatu dengan tema yang sama seperti yang ada di galeri itu. Karena belum
sempat membeli kanvas, maka kepikiran buat
melukis sepatumu... Bagus
‘kan?” jawab kakaknya.
“Iya kak, cantik, kayak sepatu mahal, kayak sepatunya
peri-peri negeri dongeng itu tuh... Ah, pokoknya seperti apapun gak apa-apa deh”, ujar Lili yang tak mampu melukiskan
perasaan gembiranya. “Hehehe... kalau begitu kakak
beri nama ‘sepatu
fantasi Lili’...”, timpal Ara. “Ma, Pa, sini deh, lihat, Lili punya sepatu keren deh... bagus ‘kan?”, pamer Lili kepada kedua orangtuanya. “Kakakmu itu memang kreatif kok...”,
komentar Mama. Papa
mengangguk tanda setuju.
“Eeeh... terus Mira gimana, kalau dia jadi ke sini buat apa
ya?”, celetuk
kakaknya, yang
tahu-tahu sudah ada bersama mereka di meja makan. “Kakak,
bikin kaget aja... deh”,
omel Lili. Mama memutar otak…
“Bagaimana, kalau Lili
membantu Mama di dapur... nanti kita suguhi Mira hidangan bikinanmu sendiri, sekalian giliran kamu yang belajar masak. ‘Kan kasihan kak Ara habis
begadang semalam, biar
istirahat saja dulu kali ini”.
“Tok.. Tok...” Mira mengetuk pintu. Lili pun mempersilahkan Mira masuk dan menyuguhkan makanan buatannya. “Li,
kita itu mau bersih-bersih sepatu atau mau bersih-bersih piring sih?”, canda Mira.
“Kita mau bersih-bersih
piring, cuci sepatunya batal!!!”, jawab Lili bersemangat. Mira tambah bingung, katanya: “Hah, maksudnya udah kamu cuci sendiri? Li, kita ‘kan sudah janjian...” Lili menggeleng. “Nggak, sepatu itu sudah
dibuat lebih keren oleh kak Ara... ini dia Mir, lihat!”, pamer Lili sambil menunjukkan
sepatunya. “Terimakasih ya, kalau bukan
karena kamu menumpahkan cat biru ke sepatuku, aku takkan pernah mendapat sepatu
keren seperti ini!”, lanjut Lili bahagia.
Mira pun tersenyum sambil menikmati makanan buatan Lili yang ternyata sangat enak.**
Comments
Post a Comment