Hellen Keller
Resensi Buku 3:
|Judul: Hellen
Keller Yang Tak Pernah Mau Menyerah Pada Nasib
|Sumber:
|Penerbit: PT.
Elex Media Komputindo
|Kode: Seri
Tokoh Dunia no. 24
|Penulis: Lin
Cau Cing
Pada
27 Juni 1880, Hellen Keller lahir di Tuscumbia, Amerika Selatan, saat lahir,
Helen tidak buta dan tuli, ia lahir normal layaknya anak lainnya, di hari ulang
tahunnya yang pertama, Helen sudah bisa jalan, dan sudah dapat berkata – kata
dengan jelas. Pendengaran Helen juga sangat tajam, ia dapat mendengar suara bel
dari kejauhan.
Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, keesokan hari
setelah Helen berulang tahun, tiba – tiba Helen menderita demam tinggi, setelah
diperiksa oleh dokter, dokter khawatir bila demamnya tidak turun, nyawa Helen
tidak dapat tertolong, semampunya dokter memberikan obat yang paling manjur.
Orangtuanya bergantian menjaga Helen selama 2 minggu, akhirnya Helen sadar. Tapi
saat disapa muncul keanehan, Helen tidak menjawab ketika Helen ditanya oleh
ibunya apakah Helen ingin makan, sehingga dokter dipanggil. Ternyata, akibat
demam tinggi tempo hari, Helen menjadi buta dan tuli.
Helen semakin besar. Tetapi karena mata dan telinganya tidak
berfungsi, maka Helen mengenal sekelilingnya hanya dengan bantuan jari, tangan,
dan penciumannya.
Helen mempunyai bahasa isyarat yang belum tentu dimengerti
oleh orang lain, tapi dimengerti oleh anak pembantu dan ibunya, Helen,
diajarkan bahasa isyarat oleh anak pembantunya.
Tahun 1885, saat Helen berusia 5 tahun, ibunya melahirkan anak
perempuan yang diberi nama Mildred Keller. Tetapi sayang, sejak Mildred lahir
tabiat Helen semakin buruk.
Suatu hari, Helen ingin melihat adiknya, ibunya
mengijinkannya dengan mendekatkan Mildred ke Helen, entah apa yang dipikirkan
Helen, tiba – tiba Helen marah, dan ingin merebut Mildred. Keesokkan sorenya,
saat Helen bermain boneka, ia menuju ke kamar tempat Mildred tidur, dan Mildred
sedang tidur disana, ia ingin menaruh bonekanya di tempat tidur itu, akan
tetapi, ia jengkel karena ada benda mungil yang lunak (yang sebenarnya Mildred,
adiknya yang sedang tidur) sehingga ia hendak membuangnya ke lantai, ibunya
yang mempunyai firasat seorang ibu bahwa Mildred dalam bahaya, segera mengambil
Mildred yang hampir mengenai lantai.
Akhirnya orangtua Helen memikirkan cara agar Helen
mendapatkan pendidikan supaya menjadi anak yang sopan, dan terdidik. Awalnya,
ayahnya mengusulkan supaya Helen dititipkan di panti tunanetra dan tuna rungu,
tetapi ibunya kasihan, karena Helen pasti akan tambah menderita ditempat itu.
Ibu Helen teringat seorang dokter di Washington, yang
bernama dokter Bell. Ia sangat mengerti
pendidikan anak tuna netra dan tuna rungu, sehingga diajaklah Helen untuk
menemui dokter Bell. Sesampainya di Washington, mereka langsung menemui dokter
Bell.
Ketika tiba di rumah dokter Bell, Helen diberi sebuah arloji
rusak oleh dokter Bell, Helen berterimakasih kepada dokter Bell dengan memeluk
dan menciumnya. Kemudian orangtua Helen menceritakan masalah yang mereka
hadapi. Dokter Bell berkata, bahwa dokter Bell tidak sanggup menghadapi Helen,
akan tetapi ia dapat membantu menulis sepucuk surat kepada pimpinan sekolah
khusus penderita tuna rungu dan tuna netra di Boston, Michael Anagnos, supaya
dicarikan jalan keluar.
Akhirnya Michael Anagnos mengirimkan Anne Sullivan untuk
mendidik Helen. Ketika baru datang, Anne disambut oleh Helen secara tidak
ramah, namun Anne masih dapat
memakluminya. Tetapi saat melihat cara Helen makan yang sangat tidak sopan, yaitu
makan tanpa sendok dan garpu dan makan sambil jalan – jalan, Anne menyuruh
Helen makan sambil duduk dan menggunakan alat makan, dan menyuruh orangtua
Helen untuk keluar dari ruang makan. Setelah beberapa lama Anne bergelut dengan
Helen, akhirnya Helen dapat makan menggunakan garpu kecil.
Anne berpikir betapa inginnya ia mendidik Helen tanpa dihalangi
oleh ayah Helen yang sangat menyayangi Helen dan tidak tega bila harus melihat
Helen dipaksa dan dimarahi.
Anne berdiskusi dengan orangtua Helen, dan akhirnya mereka
dapat tinggal di rumah kecil yang dimiliki oleh orangtua Helen.
Pada hari
pertama, Helen yang tidak terbiasa takut dan meronta – ronta ingin pulang, akan
tetapi, lama – lama ia dapat membiasakan diri hidup berdua dengan Anne.
Kadangkala, ibu Helen melihat perkembangan Helen lewat jendela, ibu Helen
terharu melihat Helen yang dulu nakal, jahil, kasar menjadi penurut, lemah
lembut dan baik.
Waktu
demi waktu berlalu. Selain mengajarkan nama
- nama benda, dan hal – hal lain yang ada disekitarnya, Anne juga
mengajarkan prakarya. Pelajaran terakhir yang diterima Helen di rumahnya adalah
membaca huruf Braille, dan juga belajar membuat kalimat.
Tahun 1888, pada saat Helen berumur delapan tahun, Helen dan
Anne diminta untuk datang ke sekolah di Boston, Helen yang sudah terbiasa
dengan hidup jauh dari orangtuanya, diijinkan ibunya pergi ke sekolahnya di
Boston, agar Helen dapat melihat dunia luar dan teman senasibnya. Lagipula
Helen sudah tidak rewel dibawa jauh pergi ke Boston. Di Boston, selain bermain
saat liburan, Helen juga mengetahui bahwa air laut rasanya asin, dan Helen yang
belum pernah merasakan salju, akhirnya ia tahu kalau ada salju di dunia ini,
bermain permainan yang sebelumnya belum pernah ia mainkan, dan lain – lain.
Helen juga belajar, sejarah, ilmu pasti, ilmu bumi, bahasa – bahasa asing, dan
lain – lain. Disaat umurnya genap 10 tahun, Helen mendengar kabar bahwa ada
anak Norwegia yang buta dan tuli seperti Helen dapat berbicara, Helen membujuk
Anne supaya membawa Helen ke guru ahli mengajar berbicara untuk anak buta dan
tuli. Helen sangat rajin belajar, sampai – sampai suara bu Anne parau. Akhirnya
jerih payahnya belajar bebicara berhasil, kalimat pertama yang ia katakana
adalah “saya sudah bukan anak bisu”. Baik gurunya belajar berbicara, maupun bu
Anne, bangga dengan hasil yang dicapai oleh Helen.
Libur sekolah telah tiba, Helen tidak sabar mengajak bu Anne
untuk segera pulang dengan kereta api. Di dalam kereta, berulang kali Helen
belajar berbicara kata “Papa” dan “Mama”. Dan sesampainya di stasiun, ia
memanggil “Papa, Mama saya datang”, baik orangtuanya maupun adiknya terkejut
dan terharu karena akhirnya Helen dapat memanggil mereka “Papa”, “Mama”, juga
“Dik”.
Kesehariannya di rumah adalah menemani keluarganya pergi
mendengarkan khotbah pendeta. Anne menerjemahkan kata – kata pendeta lewat
bahasa isyarat tangan. Helen diam merenungi khotbah pendeta.
Seusai kebaktian, Helen bertanya kepada Anne, apa betul
bahwa banyak anak yatim piatu yang buta dan tuli diusir dari rumah sakit karena
tidak dapat membayar biaya pengobatan. Anne mengiyakan. Hal ini membuat Helen
bertekad untuk menyumbangkan seluruh uang jajannya untuk anak – anak malang itu
Anne kaget dan berkata “ini tidak mudah Helen, apalagi kau masih berumur 10
tahun” akan tetapi Helen tak gentar. Helen mulai menulis surat kepada para
dermawan dan instans.
Tak lama kemudian Helen mulai mendapat tanggapan dari para
dermawan, sehingga mengalirlah banyak sumbangan. Dengan mudah, Helen dapat
mencapai impiannya menyekolahkan anak yatim yang malang ke sekolah Perkins,
tempatnya bersekolah.
Tahun 1894, Helen masuk sekolah Wright Humason di New York.
Pengajaran mengenai ucapan bibir sangatlah cermat, Helen mendapat banyak
keuntungan dari sini. Berturut – turut, Helen juga belajar berbagai bahasa,
seperti; Prancis, Jerman, Latin.
Helen ingin masuk ke universitas Harvard, maka, Helen
belajar lebih giat. Menjelang akhir semester, Helen diberitahu oleh Anne bahwa
ayahnya meninggal dunia, karena pukulan yang berat ini, Helen menjadi lebih
giat belajar. Akhirnya berkat kerja kerasnya ini, Helen dapat masuk ke Harvard
dengan baik.
Juni 1904, Helen berhasil lulus dengan nilai baik, ia
menjadi penderita tuna netra sekaligus tuna rungu pertama yang berkuliah di
Harvard. Setelah lulus dari Harvard, Anne dan Helen berceramah tentang anak –
anak yang malang, dan giat mengumpulkan uang untuk mereka.
Tahun 1924, ibu Helen meninggal dunia, ia sangat bersedih,
tetapi ia tetap berceramah di depan publik. Tidak ada yang tahu kesedihan Helen
selain Anne. Seusai ceramah Helen menangis lagi. Selain berceramah, Helen juga
mengunjungi rumah sakit buta dan tuli, untuk memberi semangat pada anak – anak
disana, para anak – anak itu memanggilnya mama Helen.
Oktober 1936, malam, karena terlalu lelah, Anne Sullivan
meninggal dunia, selanjutnya, yang mengurus Helen adalah Nona Thomson. Ia sangat bersedih, ia tidak
bersemangat untuk melakukan apapun, ia tiba – tiba mendengar suara Anne supaya
Helen terus meneruskan perjuangannya dulu. Ia kembali melanjutkan perjuangannya
yang sempat putus sesaat, sampai akhir hayatnya.
1 Juni 1968, Helen Keller meninggal dunia dengan tenang
dalam usia 87 tahun.
################################
Resensi dari Lala:
ReplyDeleteHelen Keller, lahir layaknya anak biasa, akan tetapi pada umur satu tahun satu hari, ia menderita panas tinggi yang membuatnya menderita buta dan tuli. meskipun kondisi Helen yang buta dan tuli, Helen tak pernah patah semangat, ia tak pernah mengutukki dirinya sendiri hanya karena ia buta dan tuli. ia sangat rajin belajar, hingga ia menjadi orang pertama yang menderita buta dan tuli yang berhasil lulus dari universitas Harvard.
Dari gurunya Anne Sullivan, ia mendengar bahwa di dunia ini ada banyak anak yatim piatu yang buta dan tuli yang diusir dari rumah sakit karena tidak bisa membayar pengobatannya, sejak mendengar kabar itu, Helen melakukan bakti sosial untuk anak - anak tersebut, dari umurnya sepuluh tahun sampai akhir hanyatnya. seumur hidupnya, ia selalu berkarya untuk orang cacat, entah itu cacat fisik maupun mental
kita yang hidup memiliki dua mata untuk melihat secara normal, dua telinga untuk mendengar, punya sepasang kaki untuk berlari, berjalan dan tangan untuk mengambil, memegang dan lain -lain kadang malah mengutukki diri sendiri, padahal kita hidup dengan normal.
Dari Helen kita harus belajar mensyukuri hidup ini, meski kadang kita harus menerima kenyataan pahit, seperti, melakukan kesalahan, baik kecil maupun besar. Dan kita juga harus membantu orang - orang yang cacat fisik maupun mental, dimulai dengan hal kecil saja,seperti, tidak mengucilkan mereka. oke?