Temani Aku, Bunda


Pada hari Kamis, 16 Mei 2013, aku bersama teman – teman homeschooling; Sang, Ken, Dika, Wika, Risang, Aan, Ama, Pascal, Bagas, dan Laras, akan belajar membuat sushi di rumahku, diajari oleh Mamiku. Satu per satu teman mulai berdatangan, acara pun dimulai, dengan menyanyikan “do as I’m doing” yang setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan. Lalu saatnya membagi tugas!!! ada yang mengupas bawang, memotong lobak dan wortel, memotong tempe, dan sebagainya.
Lalu kami kedatangan dua orang tamu lagi, namanya Pak Anis, dan anaknya, Aqid. Kami berkenalan dengan Akid, tapi menurut kami, Aqid orangnya pendiam, dan cuek. Mungkin masih malu kali yaaaa?
Setelah selesai mengerjakan tugas, semua bahan dikumpulkan, dan kami membuat prakarya dari sampah organik, karena sedang tidak ada “mbak ide” dan “mas inspirasi” jadi aku hanya membuat pola mozaik saja. Setelah selesai membuat, kami dipersilahkan cuci tangan untuk membuat sushi. Aku membuat dua, satu untukku, dan satu lagi untuk papi. Karena sudah keburu “ngiler” jadi aku makan sushinya duluan deh, -_- untung sudah diabadikan. :p
Semua sudah selesai membuat Sushi, dan sudah diabadikan, jadi saatnya makan! Kami makan ditemani lauk tempura sayur yang rasanya… yummm! Enak sekali, ada misho siru, tempura terong, tempura brokoli, dan jamur goreng… pesta pesta!!!
Selesai makan sushi, kami makan onigiri, mmm… gak kalah enaknya lho! Hehehe. Setelah semua sudah klenger, ada yang duduk – duduk, ngobrol, main diluar, teriak – teriak tidak jelas, kacau… -_-
Om Jamal menyudahi acara, kami bersih – bersih, karena sebentar lagi kami akan ke Universtas Sanata Dharma, Mrican, atau sering disebut Sadhar. Kami naik mobil Om Edo, ayah Bagas dan Laras, kami berdua belas: Aku, Sang,Ken,Dika, Wika, Aan, Bagas, Laras, Ama, Om Jamal, Risang, dan Bu Yuli naik dalam satu mobil… ramai sekali!
Lalu setelah sampai di Sadhar, kami menanyakan dimana tempat pemutaran film dokumenter “Temani Aku, Bunda”. Ternyata kami sudah berada di gedung yang benar, kami tinggal naik ke lantai 4 saja. Lalu disana kami juga bertemu dengan Satrio, dan Tante Imel, aku juga bertemu dengan guru – guru SD ku yaitu; Bu Ana, Bu Patmi, Bu Nana, dan Ms. Tika. Nostalgiaaaaa!!!
Disana aku juga bertemu dengan tetangga satu lingkungan… aku  orang terkenal gitu lochhhh! (narsisnya kambuh lagi -_-). Acara ternyata belum dimulai, kami menonton film tentang Kampung Halaman terlebih dahulu, Kampung Halaman adalah komunitas yang mendorong peran remaja di komunitas transisi, melalui program pendidikan menggunakan media berbasis komunitas.
Lalu film diputar, berkisah tentang Abra, seorang anak SD, yang disuruh oleh gurunya untuk memberikan jawaban soal UN apabila temannya kesulitan. Ternyata hal ini terdengar sampai orangtua Abra dan orangtua murid yang lain, dan mereka menemui Kepala Sekolah, yang berujung dengan jalan buntu. Orangtua Abra tidak mau menyerah, mereka menemui banyak orang dan pergi ke banyak tempat, dan meskipun tidak “happy ending” ini sudah membuka mata orang bahwa; tidak ada gunanya UN apabila jalannya curang, kini pun UN menjadi perdebatan, “pentingkah UN?”.
Aku melihat penggalan film dokumenter, terlihat Moh. Nuh, Menteri Pendidikan berkata “UN itu perlu, misalkan selama ini seorang anak tidak pernah sholat, lalu menjelang UN anak tersebut menjadi rajin sholat, ya bagus kan? Berarti UN menjadikan anak semakin Takwa” akupun menjadi heran dengan jawaban Pak Menteri ini, Takwa tidak hanya 3 tahun atau 6 tahun sekali, semisal ia lulus, lalu ia tidak sholat lagi sampai UN lagi. Namanya bukan takwa, tapi sok alim, ya nggak?
Lalu sepertinya ada yang menyanggah jawaban Pak Menteri, lalu beliau menjawab lagi, ia menceritakan sebuah rumus, lagaknya orang pintar, lalu ia menjelaskan “…seperti per, apabila ia tidak dilatih, maka ia tidak akan lentur, malah bisa patah, tapi kalau sering dilatih, maka ia akan lentur, begitu pula manusia…” aku bergumam dalam hati “ya pak, itu ada benarnya, tapi UN? Apakah akan menjamin hidup sejahtera? Bukankah kita tidak menggunakan rumus – rumus itu dalam kehidupan sehari – hari? Kita hanya menggunakan uang;  tinggal dikurang, kali, bagi, tambah… dan kita tidak menggunakan rumus kalkulus, atau persamaan linear satu variabel, dan sebagainya…”
“Akhirnya, kitalah yang harus bijak, dan pintar, karena terkadang, ijazah bukanlah segalanya. Apabila kita memilik ijazah SD, SMP, SMA, Kuliah sampai S-3 pun, apabila kita tidak berjuang, semangat, dan berusaha, kitapun dapat kalah dengan pengemis” - Clara Sidharta

Comments

  1. Hi Clara, aku Kevin.
    Boleh tau nggak, kenapa kamu suka dengan bahasa?
    Jarang - jarang lho ada orang yang mau menuliskan kembali pengalaman yang dialaminya, tp aku senang masih ada orang yang seperti kamu yang menghargai pengalaman yang didapat sehari - hari walaupun menurut orang lain itu tidak seberapa.
    Aku menemukan blogmu tidak sengaja karena sedang mencari orang yang mungkin juga temanmu, lalu aku malah berhenti di tulisanmu dan keasikan membacanya.
    Nice post by the way. Keep writing ya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contoh Essay LPDP 2022

AYD girls squad

Raya kala